Chapter 1

Langit dan lautnya

Selasa pagi bukan hari dimana ia perlu bangun pagi. Selasa pagi bukan juga hari dimana ia pakai kacamata tebalnya untuk membaca setumpuk dokumen di kantor. Selasa pagi tandanya kebebasan, hari liburnya. Saatnya bersantai dan melaksanakan hobinya—mencuci dan menyetrika.

Harusnya sih seperti itu, bila saja tak ada sticker ungu tersemat di kalendernya. Sebuah hari special.

Irene takkan melewatkannya. Senyumnya merekah sambil ia kemasi kotak-kotak bekal ke dalam tasnya.

Seulgi pasti akan menyukainya.

…..............

Di mata banyak orang Kang Seulgi adalah sosok yang menawan. Sosok karismatik nan rupawan. Memiliki tatapan tajam dan tubuh dengan proporsi yang luar biasa. Ya, kang Seulgi adalah sebentuk kesempurnaan.

Di mata Irene, Seulgi masih sesosok bayi besarnya.

Masih sesosok orang yang suka merengek minta bantuan padanya.

Masih sesosok gadis pecinta mainan yang tertawa riang karena mainannya.

Kadang masih sulit untuk mempercayai Seulgi telah menyelesainkan pendidikannya, terlebih ia telah menjadi guru di salah satu studio dansa ternama. Dan sepertinya bukan cuma Irene yang merasa sulit percaya.

Seulgi pun demikian. Terlihat dirinya masih canggung di hadapan murid-murid kecilnya. Meski begitu senyum miliknya berkembang sangat lebar. Irene bisa melihat betapa antusias Seulgi mengajak satu persatu muridnya dengan gembira. Irene bisa merasakan Seulgi masih sangat terpukau dengan momen pertamanya sebagai pengajar, ia bahkan tak sadar Irene membuka ruang kelasnya dan diam memperhatikan.

Murid-muridnya kecilnya bahkan sudah mulai sedikit banyak tertawa akibat melihat mantan guru mereka masuk menyelinap masuk mengamati guru baru mereka. Tetap, tawa itu tak dianggap aneh oleh Seulgi. Oh, miss clueless tak pernah berubah. Irene hanya menaruh telunjukya di bibir.

Stttt. Jangan beritahu guru kalian.

Merasa sudah cukup mengamati, Irene berjalan mendekati. Tapi, Seulgi mendadak berbalik.

“OMO!” Irene tak bisa menahan teriak kekagetannya. Seulgi sendiri kaget bukan kepalang, tangannya bahkan gemetar beberapa saat sebelum dia menyadari situasi.

“Unnie! Kamu mengagetkanku!”

“Ya! Kamu juga! Jangan berbalik tiba-tiba!”

Kedua masih dalam keadaan kaget berat. Tapi toh, mereka pada akhirnya sama-sama tertawa akibat malu pada diri sendiri.

…..............

“Bagaimana?”

Irene menaruh sumpitnya dengan rapi di samping kotak bekal. Matanya menatap cemas pada Seulgi yang masih mengunyah sushi bulat-bulat, membuatnya pipinya membentuk bulat sempurna.

“Unnie jjang!”

Seulgi mengacungkan dua jempolnya dengan menggemaskan, dan Irene tertawa melihat tingkahnya.

Irene tak tahu mengapa ia harus menahan napas cemas menunggu kata itu. Mengingat Seulgi akan selalu merepon positif pada apapun yang terjadi. Tak ayal, senyumnya tetap merekah. Ada sebuah kebanggan dalam dirinya mendapat pujian mengenai masakannya.

Irene tersenyum puas melihat Seulgi tanpa ragu melahap kembali sushi buatannya. Ditatanya kotak-kotak bekal tersebut supaya lebih mudah dijangkau. Puas dengan penataannya, dia pun merapihkan barang-barang ke dalam tasnya. Mengambil kunci mobil dan memasang blazernya.

“Unnie mau kemana?” Seulgi bertanya kebingungan, tapi suaranya tertahan oleh mulut penuhnya. Ia coba menelan sushinya lebih cepat sebelum melanjutnya. “Unnie sudah membuat sushi sebanyak ini, unnie seharusnya ikut makan di sini. Yeri akan datang sebentar lagi, Yeri pasti akan senang.”

“Aku harus menjemput Seungwan sekarang. Aku akan makan dengan Seungwan nanti.”

“Ah, titip salam untuk Seungwan.”

“Ya.”

Irene melambai untuk terakhir kalinya, sebelum berbalik berjalan menjauh menghilang dari pandangan Seulgi. Dirinya bersandar pada pintu mobilnya. Melirik jam tangan di pergelangan kirinya. Masih ada satu setengah jam lebih hingga Wendy mendarat.

Mungkin seharusnya dia kembali ke tempat Seulgi. Menunggu Yeri datang dan menghabiskan siangnya bersama keduanya. Tapi, Irene tak ingin berada di sana.

Tak ingin berakhir menatap Wendy di bandara dengan mata merah sehabis menangis. Sudah cukup ia membuat Wendy khawatir. Irene sudah berjanji ia tak akan menjadi egois untuk selalu melekat pada Seulgi. Dia bahkan mengganti tempat kerjanya supaya tak terlalu sering berjumpa dengan Seulgi.

Tapi ia tetap berakhir membawakan bekal untuk Seulgi. Mengabaikan cicin silver yang tersemat di ibu jari Seulgi, sebentuk keegoisannya yang tak bisa hilang.

Irene tak tahu apakah ia harus berterimakasih atau tidak atas waktu yang tersisa untuk bertemu Wendy. Tapi Irene akan pergunakan waktu itu sebaik-baiknya, untuk membenahkan perasaan campur aduknya.

…..............

“Pengkhianat!”

Joy berteriak. Mendelik tajam pula dirinya. Oh, kemampuan akting Joy—Park Sooyoung—dari jurusan seni teater memang tak perlu diragukan.

Reaksinya melihat Iphone X baru milik Wendy sungguh dramatis. Irene bersyukur Joy tidak langsung berteriak histeris di bandara saat menjemput Wendy barusan. Jika iya, Irene akan langsung berbalik dan pura-pura tak mengenal keduanya sembari mengutuk dirinya sendiri akan idenya membawa Joy untuk menjemput Wendy. Bagaimana pun, suara Joy kelewat keras untuk tak mengundang beberapa pasang mata menatap mereka.

“Itu hadiah dari Tiffany Unnie.”

Wendy tak kuasa menutupi kepanikannya, wajahnya pucat pasi kesulitan menjelaskan.

Irene tak kuasa mengeluarkan tawa penuh kepuasaan melihat perdebatan keduanya. Lebih tepatnya Joy memfitnah Wendy dan Wendy bersusah payah menjelaskan dirinya bersih dari tuduhan. Tentunya dengan seribu kata, ciri khas Wendy. Reaksi Wendy terlalu sayang untuk dilewatkan.

Meski begitu ia harus menyetir dan memastikan mereka aman selamat sampai tuujuan. Karena itu Irene hanya bisa melirik ke belakang sekali-kali melalui pantulan kaca. Memastikan keduanya tidak membuat keributan yang bisa membuat Irene kehilangan konsentrasi mengemudinya. Terlihat Joy masih amat terpukau dengan Iphone X milik Wendy, ditelantarkan olehnya Iphone 8 masih bersih berkilau yang didapatkannya bulan lalu.

Kadang, Irene masih mengalami sedikit culture shock. Beginilah rasanya menjadi teman dari dua chaebol perusahaan ternama.

…..............

Wendy-unnie, aku ingin pancake.

Itu adalah rengekan Yeri beberapa saat lalu. Mereka bisa saja membeli pancake di toko terdekat. Atau memesan melalui aplikasi dan menunggu santai hingga pesanan mereka datang. Tapi Wendy mengusulkan sebaliknya. Ia akan membuat pancake untuk Yeri.

Karena Wendy akan melakukan apapun untuk membuat seseorang tersenyum. Tak peduli dia masih  lelah dan jet lag akibat perjalanan panjangnya.

Tentu Irene tak akan membiarkan Wendy dengan kantung mata hitamnya menyetir dan membahayakan dirinya sendiri. Tak peduli harus berdebat panjang dengan Wendy dan sedikit bermain curang dengan mengambil kunci mobil Wendy disaat ia lengah. Irene sudah bulat akan menemani berbelanja, dan Bae Irene tidak menerima kata tidak.

Maka sekarang ia membawa barang belanjaan mereka. Yang lebih berat dan banyak dari perkiraan awalnya. Niatnya hanya akan membeli bahan-bahan untuk pancake dan beberapa cemilan. Tapi, bukan Wendy namanya bila ia bisa berbelanja dalam waktu singkat. Mengitari rak cemilan dengan santai, matanya pada akhirnya menatap Pringles, lalu cokelat favorit Joy, lalu ice cream favorit Irene. Dan Wendy yang selalu baik hati tak tega untuk tidak membeli semuanya. Membuatnya memasukan semua barang ke keranjang seperti itu adalah sebuah solusi paling mutakhir.

Irene masih menunggu Wendy memilih satu item terakhir mereka. Susu favorit Yeri. Wendy terlihat sedikit kebingungan untuk memilih membeli yang besar atau kecil. Alisnya berkerut, diam dirinya beberapa saat. Sebelum akhirnya mendesah seperti kalah dalam perang dan memasukkan porsi besar ke dalam keranjang mereka.

“Tidak perlu membeli yang besar. Cukup beli yang kecil saja.”

Irene tentu mencoba menghentikannya, karena Irene tahu Wendy akan menyesali pada akhirnya. Meski berasal dari keluarga kaya Wendy tidak suka menghaburkan uangnya.

“Tidak apa. Yeri sedang dalam masa pertumbuhan, dia harus minum banyak susu. Lihat betapa pendeknya dia.”

Kata-katanya berakhir sebuah sindiran. Tapi senyumnya berkata lain. Penuh kelembutan seperti kasih seorang ibu.

Irene terdiam tak bisa menjawab. Saat-saat seperti ini sering membuatnya terdiam dan sulit bernapas. Hanya—terbuat dari apa sebenarnya hati Son Seungwan.

“Datanglah padaku.”

“Datanglah padaku bila unnie merasa terlalu sulit untuk melihat Seulgi.”

Dan, terbuat dari apa hati Bae Juhyun untuk selalu memanfaatkan kebaikan Seungwan.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
meikooo
Makasih untuk yang udah komen. Saya termaksud orang yang cukup lama dalam menulis, maaf. Bagian pertama akan selalu flashback kejadian penting. Mungkin Seulgi akan menjadi narator utama chapter 3.

Comments

You must be logged in to comment
artasri13
#1
Chapter 2: disini engga tau mau kasian sama siapa. semuanya punya masalah sendiri, yang berasal dari masa lalu merekaa. tapi yang jelas gue berharap semoga ending nyaa engga terlalu sedihh^^
and thank you for updated this story author-nim♡
AvoGato
#2
Chapter 1: Thor, kamu kemana thorrr???????!!!!!
artasri13
#3
Chapter 1: aduuuh baru baca chapter satu aja udhh meleleh...♡
can't wait for next chapterXD
Magickal
#4
sinopsisnya udah bagutttt. menarik.