Keping 7

Protect!

Pinggiran meja berkaki rendah milik kamar 403 kini dipenuhi lembaran selotip seukuran ibu jari. Sambil usil memutar-mutar gunting dengan telunjuknya, Sang Hyuk pun bertanya, “Nuna, apa ini sudah cukup? Luffy dan Zorro sudah menungguku di kamar!”

Lantaran fokusnya memusat pada layar televisi, Hye Ra yang tadinya asyik membungkus kotak dengan kertas sewarna ayam mentah―begitulah cara Cha Hak Yeon menyebut salem―tak jua menjawab. Merasa diabaikan, Sang Hyuk kontan melempar gunting ke atas meja, “HEI, NUNA! SELOTIPNYA SUDAH CUKUP ATAU TIDAK?”

“Eh?” Hye Ra mengerjap. “Sepertinya iya.”

Sang Hyuk mencebik dan bangkit, “Aku kembali ke kamar ya? Kalau Hak Yeon-hyeong datang, katakan saja aku sedang belajar. Ah, jangan lupa matikan TV-nya sebelum Nuna pulang.”

“Baiklah,” balas si Lee bungsu. Konsentrasinya lantas kembali terarah pada boks setengah telanjang di meja. Ck, masih ada satu hadiah lagi yang belum terkemas. Ditambah melilitkan pita dan menulis kartu ucapan… Banyak sekali yang harus Hye Ra kerjakan!

“Oh iya, Nuna.” Bocah Han itu masih sibuk membersihkan selotip yang menempel di kausnya, ketika menunjuk area dapur yang tak jauh dari mereka. “Hak Yeon-hyeong bilang, sup jamur pinus di panci itu untukmu dan Jae Hwan-hyeong. Katanya, hangatkan dulu sebelum makan.”

Tak bermaksud mengulur-ulur perpisahan, Hye Ra mengangguk.

“Salah satu kru Show Champion juga menuturkan, saat kejadian berlangsung, Go Ho Jung dan Ravi Kim sempat terlibat cekcok.” Lantunan formal yang bermuara dari televisi lagi-lagi merusak fokus Hye Ra, yang hendak melanjutkan pekerjaan sepeninggal Sang Hyuk. “Beruntung, sebelum perkelahian berlanjut, kedua rapper itu berhasil dipisahkan.”

Berita tidak penting!

“Belum bisa dipastikan motif pemukulan yang dilakukan Ravi Kim, namun santer diperbincangkan, hal ini terkait dengan peresmian hubungannya dengan Park So Jin.”

Seiring ditekannya tombol power pada remote, layar dua puluh empat inchi itu padam. Hye Ra kemudian menjuhut bolpoin dan kartu ucapan yang sedari tadi terabaikan. Apa-apaan mereka itu? Seenaknya saja mengarahkan tudingan pada Ravi Kim seorang.

Orang baik takkan meledak tanpa alasan, tahu!

Selesai menulis, Hye Ra sontak mengambil ponsel di saku roknya. Laman situs pencarian di sana belum juga tertutup. Masih menampilkan sebaris alamat surat yang ia cari sebelum bertamu ke 403. Tujuan dari salah satu hadiahnya yang belum terbungkus sempurna.

Ravi Kim.

Huh, lagi-lagi Hye Ra terpaksa mengemis bantuan Taek Woon. Sudah tempo hari membuat si penghuni 401 berlama-lama di toko demi mencari hadiah incarannya, tentu Hye Ra merasa tidak enak, tapi… Jika bukan Taek Woon, lalu siapa lagi? Jae Hwan?

Sama saja menyuruh Hye Ra menjaring angin.

Sekadar melanggar larangan si Lee sulung tentang “penggunaan benda tajam” saja Hye Ra tak bernyali, apalagi meminta Jae Hwan untuk mengantarkan paketnya pada Ravi Kim? Hei, bersujud di hadapan sang kakak pun takkan menjamin permohonannya terkabul!

Jadi, sebagai langkah preventif, Hye Ra sengaja menyiapkan satu lagi hadiah―atau lebih tepat disebut sogokan?―untuk Jae Hwan. Mungkin takkan berefek banyak, tapi apa salahnya meminimalisir kemarahan si Lee sulung?

***

Diguyur hembus angin khas penghujung November, gigi Jae Hwan bergemeletuk. Musim gugur belum berakhir, tapi menurunnya suhu sudah tentu tak bisa dicegah. Terlebih, Jae Hwan cuma melapisi badannya dengan kaus dan kardigan tipis. Tidak seperti Taek Woon yang ditelan kehangatan dari parka abu-abu―hasil antisipasi sebelum berangkat kerja.

“Dingin?”

Jae Hwan menoleh. Ini kata pertama yang Taek Woon ucapkan sejak mereka meninggalkan Melody Kaffee dan terjebak di halte. “Yah, lumayan. Aku hampir mati beku.”

“Mau berjalan kaki saja?” tawar Taek Woon.

Sebelum mengiyakan, Jae Hwan sempat melirik arloji. Benar saja, tinggal setengah jam lagi menuju pergantian hari. Lumrahnya bus di Seoul memang beroperasi hingga pukul satu malam, namun bus yang mereka tunggu amat jarang terlihat di atas pukul sebelas.

“Aku benci musim dingin…”

Kini, sehabis menatap daun-daun yang berserakan, giliran Taek Woon yang memutar kepala. Tidak biasanya Lee Jae Hwan mengutuk hal-hal remeh semacam cuaca. “Aku suka.”

“Musim dingin itu merepotkan, tahu?” Jae Hwan menggigil lagi. “Sayuran menjadi mahal, harus menyiapkan jaket, menyalakan pemanas, menghangatkan makanan… Argh!”

Respon yang diberikan Taek Woon hanya sebatas dengusan. Amat terbiasa dengan tingkah ekspresif nan hiperbolis pemuda di sebelahnya.

“Aku ingin Hye Ra selalu makan makanan hangat, tapi aku tidak mau dia memasak!” erang si Lee sulung. Seolah pemandangan Hye Ra bercelemek lebih mengerikan dari bencana alam. “Sudah begitu, panggilan dari Bos juga tidak bisa kutolak. Aku harus berada di rumah selama musim dingin!”

Tak bisakah Lee Jae Hwan lebih konyol dari ini?

“Bagaimana menurutmu? Apa aku harus berhenti kerja?” todong Jae Hwan. Taek Woon sampai bingung harus memuntahkan persetujuan atau tidak. “Ah, atau kusewa saja Hak Yeon-hyeong selama tiga bulan untuk menjadi koki pribadi kami? Kupikir itu ide ba―“

Muak, si poni karamel akhirnya bersuara, “Jae Hwan-a.”

“Ya?”

“Berhenti mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu,” seloroh Taek Woon ketus. “Hye Ra itu sudah besar. Jangan terus-menerus memperlakukannya seperti bayi.”

Terkesiap, langkah Jae Hwan pun ikut terhenti karenanya.

“Suatu saat dia akan punya kehidupan sendiri, dan kau tidak bisa lagi ikut campur.” Taek Woon lantas beranjak. Hilang kepedulian pada sang lawan bicara yang masih membeku di belakang. “Kecuali jika kau tidak mengizinkannya memiliki suami hingga tua nanti.”

“Haruskah?”

Dahi Taek Woon berlekuk, “Apa?”

“Tidak. Lupakan saja.” Jae Hwan tersenyum kikuk dan mulai menyusul. Tak menyangka bila si penghuni 401 mendengar gumamannya. “Kalau kau, mau tidak?”

Taek Woon menjawabnya dengan alis terangkat.

“Jadi pendamping Hye Ra.”

Serempak dengan netra sendunya yang melebar, rona merah seketika menginvasi wajah pemuda bermarga Jung itu. Terlebih pada bagian telinga. “Ke… Kenapa harus aku?”

“Karena kau orang baik, sedikit bisa memasak, bertanggungjawab dan...” Lee sulung lantas menyeringai jahil. “Aku ingin mendengar panggilan ‘kakak ipar’ yang imut darimu!”

Jengkel, Taek Woon segera menghibahkan tendangan pada bokong Jae Hwan. Berkali-kali, hingga si telinga lancip bergeliat kesakitan. Pelatihan dasar tae kwon do yang diajarkan sang ayah dulu terbilang singkat, jadi wajar ‘kan jika Taek Woon kerap mengasahnya lagi lewat Jae Hwan?

“Hei, Taek Woon-ie! Hentikan! Aku ‘kan hanya bercanda!” Jae Hwan menjerit dan berlari tunggang-langgang, menghindari serangan berikutnya. “Mana mungkin aku ingin Hye Ra menikah denganmu, huh? Kaupikir aku tega melihatnya dicekoki kopi hasil eksperimenmu setiap hari?”

Dicecar ejekan, Taek Woon kian bersemangat untuk mengejar si tetangga.

“Buatlah kopi yang rasanya lebih enak dari buatan Jun Hyung, baru kita bicara lagi!”

Sungguh, semua tawaran Jae Hwan benar-benar sebatas gurau, bermotif peralihan dari gumaman refleksnya. Ditilik dari proteksi yang Jae Hwan terapkan secara sewenang-wenang pada sang adik, bukankah mestinya Taek Woon tak perlu merespons serius?

Karena sampai kapan pun, Lee Hye Ra tetap miliknya.

Hanya miliknya.

***

Perjalanan pulang berbumbu debat itu memakan durasi satu jam lamanya. Sambil mengelus bokongnya yang terasa panas, Jae Hwan bergegas membuka pintu. Dan, belum-belum melepas sepatu, Hye Ra telah meluncur ke teras dan mengagetkannya, “Selamat datang, Oppa! Mau sup, tidak?”

Jae Hwan sudah akan tersenyum ketika properti yang dikenakan sang adik membuatnya ternganga. Balutan celemek, sendok sup dan serbet di masing-masing tangan… Kontan Jae Hwan batal pula memasukkan sepatunya ke rak. Dipandangnya si bungsu lekat. Dalam. Penuh selidik.

“Bukan aku yang memasaknya.” Dengan mudahnya Hye Ra membaca sorot mata Jae Hwan. “Itu buatan Hak Yeon-oppa. Sang Hyuk sendiri yang memberikannya padaku.”

Bibir penuh si Lee sulung merekah, “Bagus.”

Jae Hwan mengelus kepala gadis itu dan lekas bertolak ke meja makan. Sudah tertata sup jamur pinus, sepasang mug―tentunya berwarna pink dan biru―dan tisu basah. Hebat, tahu saja kalau Jae Hwan tidak ingin hipotermia karena mencuci tangan dengan air dingin.

“Oh ya, aku juga punya hadiah untuk Oppa.” Hye Ra mengeluarkan kotak mungil dari saku celemeknya. Lee sulung lantas mengernyit. “Anggap saja ini sebagai penghargaan atas kerja keras Oppa, atau… Hadiah Natal yang terlalu cepat?”

Menyaksikan alis tebal Jae Hwan tetap mengeriting, dalam hati Hye Ra mengutuk alasan konyolnya. Bodoh, apanya yang Natal? Ini bahkan masih bulan November!

Satu tarikan Jae Hwan berhasil melepaskan simpul pita dari kotak itu. Teronggok lipatan saputangan berwarna navy. Sekilas nampak polos, kalau saja Jae Hwan tidak melihat sulaman wajah Tony Tony Chopper si rusa bertopi pesulap―karakter One Piece yang digilainya―pada sudut kain itu. Ditambah kartu ucapan yang terletak di dasar kotak… Jae Hwan tak kuasa menahan senyum.

Untuk Oppa-ku yang gampang terkena flu di cuaca dingin!

“Lee Hye Ra,” panggil Jae Hwan saat sang adik beranjak menaruh celemek di dapur. Begitu si pemilik nama menengok, pemuda bertelinga lancip itu berujar lagi. “saranghae.”

Sembari melanjutkan langkahnya, Hye Ra membalas lengkungan bibir sang kakak. Akhir-akhir ini, walau hanya satu kali dalam sehari, Jae Hwan pasti sempat mengucapkan kata yang sama. Meski hingga kini Hye Ra tetap menganggapnya sebagai tanda sayang antar saudara, bukan pernyataan cinta dari lawan jenis sesuai harapan Jae Hwan...

Entah kapan Lee Jae Hwan bisa menggantinya dengan pengakuan gamblang.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ephemeral--
#1
Chapter 5: interesting!!